Jakarta, CNN Indonesia — Pengesahan revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) dalam sidang paripurna menyisakan catatan penting. Salah satunyba soal kewenangan tambahan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
Penambahan fungsi kewenangan MKD berkaitan dengan pencegahan, pengawasan dan penindakan sebagaimana diatur dalam Pasal 121A. Tugas MKD yang diatur pada Pasal 122 juga bertambah dari yang tadinya empat poin menjadi 14 poin.
Dari sekian kewenangan tambahan, poin (k) dalam pasal 122 terbilang krusial. Beleid poin k pasal itu menyatakan, dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud Pasal 121A, MKD bertugas mengambil langkah hukum dan atau langkah lain terhadap perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.
Dengan begitu, siapapun yang mengkritik DPR bisa dijerat hukum. Nantinya, MKD dapat memanggil seseorang yang melakukan penghinaan kepada DPR atau anggota, dan melakukan penyelidikan, sampai membuat keputusan.
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR Lukman Edy sempat menjelaskan, hal itu merupakan bagian dari tambahan kewenangan yang dimiliki MKD usai revisi UU MD3.
“Nah kami menitipkan sebuah tanggung jawab pada MKD bukan saja menjaga kehormatan lembaga, tapi juga menjaga kehormatan anggota DPR. Itu isunya,” kata Lukman di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (9/2).
Nantinya, kata Lukman, MKD dapat memanggil seseorang yang melakukan penghinaan kepada DPR atau anggota, dan melakukan penyelidikan, sampai membuat keputusan.
“Misalnya menebarkan fitnah, black campaign, itu juga kami kasih tanggung jawab pada MKD sebagai lembaga yang menjaga kehormatan,” katanya.
Sejumlah pihak menganggap penambahan kewenangan itu berpotensi menjadikan DPR sebagai lembaga yang antikritik. Padahal, di sis laini, saat ini banyak anggota dewan yang kerap melontarkan kritik, termasuk saat menanggapi pasal penghinaan presiden dan wakil presiden yang hendak dihidupkan kembali oleh pemerintah dalam revisi KUHP.
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah adalah salah satu anggota dewan yang getol mengkritik niatan menghidupkan kembali pasal penghinaan presiden dan wakil presiden. Legislator yang sempat dipecat PKS itu tak setuju dengan rencana menghidupkan kembali pasal yang ditujukan untuk menjaga marwah dan nama baik presiden dan wakil presiden.
“Kalau pasal itu hidup, sama dengan presiden itu menganggap dirinya penjajah dan rakyat itu dijajah,” ujar Fahri melalui pesan singkat, Rabu (7/2).
![]() |
Fahri Hamzah menganggap Presiden Joko Widodo tak ubahnya sebagai penjajah jika pasal penghinaan terhadap presiden dihidupkan kembali dalam revisi KUHP. (CNN Indonesia/Abi Sarwanto).
Dalam pembahasan di tingkat Timus RKUHP, ayat (1) pasal 239 RKUHP disebutkan setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV (Rp500 juta).
Sementara ayat (2) menyebut, tidak merupakan penghinaan jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jelas dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.