KONDISI rumah semi permanen amak Nuryamsi.
Miris. Ditengah gencarnya pembangunan di Kota Padang serta gembar-gembor program pengentasan kemiskinan yang selama digadang-gadang pemerintah menjadi skala proritas, ternyata masih ada sejumlah warga yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Seperti yang dialami nenek Nursyamsi (67), yang saat ini tinggal di rumah sederhana kontrakan di RT 03 RW XI Kelurahan Mata Air, Kecamatan Padang Selatan.
Saat ini, wanita renta yang hanya hidup berdua dengan anak perempuannya bernama Nurhayati (40), yang memiliki keterbelakangan mental. Untuk hidup sehari-hari, onang, begitu ia biasa disapa hanya bisa berharap belas kasihan tetangganya saja.
“Sejak lima tahun terakhir, kami hanya bisa berharap belas kasihan para tetangga saja. Apalah daya amak kini. Kalau tidak ada tetangga yang memberi bantuan, terpaksa kami tidak makan,” lirihnya sembari mengelus kepala anak perempuannya.
Untuk saat ini, ucapnya, ia harus mencarikan uang sebesar Rp3,1 juta untuk membayar sewa tanah tempat rumahnya berdiri kepada pemilik tanah.
“Rumah ini dibangun atas partisipasi warga sekitar. Sedangkan tanahnya punya orang lain. Namun demikian, amak juga wajib bayar sewa Rp3,1 juta setiap tahunnya,” terangnya kepada Haluan.
Dulu, cerita amak Nursyamsi, setelah suaminya meninggal 20 tahun yang lalu, ia terpaksa harus bekerja sebagai buruh cuci guna bertahan hidup. Namun setelah lima tahun terakhir, kondisi fisiknya sudah mulai menurun seiring dengan bertambahnya usia.
“Ya, amak sudah tidak kuat lagi bekerja,” sebutnya dengan suara lirih.
Nursyamsi merasakan hidup semakin berat. Setahun belakangan semenjak tak lagi mendapatkan bantuan beras miskin atau beras sejahtera. Padahal, baginya beras tersebut sangat berarti untuk menghilangkan rasa lapar dan menyambung hidup. Tak jarang Nursyamsi dan anaknya berhari-hari tak makan.
“Terkadang sisa nasi atau karak amak rendam. Kemudian dimasak kembali menjadi nasi. Rasanya masih enak,” ceritanya sembari belinang air mata.
Nursyamsi pun bertambah bingung, karena takut dan khawatir dengan nasip putri semata wayangnya tinggal setelah ia meninggal.
“kalau amak ga ada, sama siapa anak amak ini tinggal lagi,” isaknya.
Kini Nuryamsi bisa berharap belas kasihan pemerintah. Setidaknya untuk sekedar memenuhi kebutuhan makan sehari-hari.
Haluan yang berkesempatan berkunjung ke kediaman amak Nursyamsi hanya bisa menahan haru saat menyaksikan langsung kondisi rumah semi permanen yang ditempati amak Nuryamsi. Bangunan berukuran 6×8 meter ini dipenuhi tumpukan barang usang.
Tak ada yang istimewa isi di dalam rumah Nursyamsi. Selain satu buah tempat tidur usang yang dipaku ke dinding kayu, cuma ada satu televisi berukuran 14 inci, satu-satunya barang berharga yang mereka miliki. Rumah semi permanen ini juga tidak memilik kamar mandi atau WC. Sangat miris.
Mudah-mudahan pihak Pemerintah Kota Padang bisa terketuk hatinya untuk membantu amak Nursyamsi. Semoga saja.