
PADANG, HALUAN – Pembangunan bandar udara (Bandara) Piobang, Kabupaten Limapuluh Kota mendesak dilaksanakan. Keberadaan Bandara Piobang sekaligus juga menjawab kecemasan terhadap keberadaan bandara yang representatif untuk mendroping bantuan jika bencana terjadi, mengingat Bandara Internasional Minangkabau (BIM) berada di tepi laut dan daerah rawan tsunami.
Potensi bencana di Sumbar cukup besar. Negeri ini dijuluki supermarket bencana. Dari 19 kabupaten/Kota, tujuh diantaranya masuk kategori potensi tinggi terjadinya bencana. Selain kawasan pesisir pantai yang berpotensi terkena tsunami jika gempa besar terjadi, Sumbar juga dihantui bencana banjir, dan longsor karena tekstur daerah yang berbukit-bukit.
Soal gempa besar, jauh-jauh hari, para pakar sudah memprediksi potensinya. Para ahli telah menghitung siklus gempa besar (megathrust) Mentawai dalam kurun 200-300 tahun. Bahkan, pakar gempa dari Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bandung Danny Hilman, Maret 2018 lalu, kepada Tempo mengatakan, saat ini merupakan masa puncak siklus gempa Mentawai. Prediksi ini bukan kabar petakut, namun lebih kepada pemberian informasi kepada masyarakat agar selalu waspada dan paham kalau berada di daerah rawan.
Katanya, pada Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia 2017, terdapat potensi gempa dari megathrust lautan barat Sumatera segmen Mentawai-Pulau Siberut bermagnitudo (M) 8,7. Adapun pada segmen Mentawai-Pagai sebesar M=8,9. Potensi gempa megathrust di Mentawai sudah sangat tinggi secara ilmiah.
Dari sisi ilmiah, gempa bisa terjadi besok, 10 tahun lagi, atau puluhan tahun kemudian karena alam punya banyak faktor. Dari catatan riwayat kejadian lindu di Indonesia, pelepasan energi gempa Mentawai sudah dimulai sejak 2007 dan 2010. Pada 2007 gempa Mentawai bermagnitudo 7,7, lalu pada 2010 sebesar M=7,2.
Kondisi ini yang membuat risau banyak pihak. Salah satunya Marzul Veri. Mantan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sumbar yang kini melanjutkan pengabdiannya dengan maju sebagai Bacaleg DPR RI di Dapil Sumbar 1 dari Partai Hanura sangat risau. Dia cemas terhadap kesiapan masyarakat dan pemerintah menghadapi bencana.
“Tak bisa dimungkiri, Sumbar belum siap 100 persen jika bencana datang. Di luar kesadaran masyarakat, infrastruktur pendukung dalam upaya mitigasi bencana masih minim. Pemerintah sebenarnya sudah berusaha tapi barangkali hasilnya belum nampak. Padahal, infrastruktur ini menjadi bagian terpenting dalam upaya mitigasi,” terang Marzul, Minggu (22/7) siang.
Menurut Marzul, Salah satu infrastruktur penting dalam mitigasi adalah keberadaan bandara yang representatif. Sumbar kini baru punya tiga bandara. Yakninya, BIM di Padang Pariaman, Bandara Pusako Anak Nagari di Pasbar dan Bandara Rokot di Mentawai. Dua bandara terakhir berstatus perintis yang tak bisa digunakan pesawat berbadan besar. Selain itu, letak kedua bandara agak jauh dari pusat kota dan daerah yang dianggap simpul bencana. Kemungkinan bisa digunakan untuk droping bantuan kalau bencana besar terjadi juga sangat kecil.
“Sedangkan BIM, letaknya di daerah rawan tsunami Jika gempa besar terjadi, tsunami menghantam, tidak ada jaminan BIM akan lolos dari kerusakan parah. Bisa jadi BIM akan lumpuh. Tidak bisa dioperasikan. Sebab itu Sumbar butuh bandara yang representatif. Jauh dari lokasi bencana tapi berada di tengah-tengah, sehingga bisa dijadikan pintu masuk bantuan,” papar Marzul Veri yang merupakan mantan Ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Sumbar.
Kota Payakumbuh dan Kabupaten Limapuluh Kota, menurut Marzul cocok dijadikan lokasi pembangunan bandara. Jika bandara di bangun di daerah yang bernaung dalam Luak Nan Bangsu itu, jarak tempuh dan waktu distribusi bantuan bisa dipangkas. Bantuan tak perlu lagi lewat jalur darat via Pekanbaru, Riau. Tapi langsung didrop dari sana.
“Apalagi, jauh-jauh hari, wacana menghidupkan kembali bandara di Limapuluh Kota, persisnya di Piobang telah dikemukakan. Pemerintah pusat dan anggota DPR RI beberapa kali juga melakukan peninjauan. Wacana ini perlu dikonkretkan lagi. Tidak sudah di meja-meja rapat saja. Keberadaan bandara di Luak Nan Bungsu tak semata untuk kepentingan dua daerah itu, tapi kepentingan Sumbar secara umum. Pemerintah Kota Payakumbuh, Pemkab Limapuluh Kota serta Pemprov Sumbar harus serius mewujudkan rencana ini,” desak Ketua DPD Partai Hanura Sumbar itu.
Desakan Marzul untuk menghidupkan kembali Bandara Piobang sebenarnya sejalan dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 69 Tahun 2013. Dalam Permen itu dirincikan, kebijakan pengembangan bandara baru diprioritaskan di daerah rawan bencana dengan tujuan untuk penanganan bencana, sehingga mampu didarati pesawat Hercules C-130 dan pesawat berpenumpang 50 orang dalam rangka evakuasi dan distribusi bantuan. “Saya yakin jika wacana ini diseriusi, pemerintah pusat akan menjadikan pembangunannya prioritas mengingat Sumbar memang butuh bandara yang representatif ketika bencana terjadi,” tutur Marzul.
Terganjal Surat Permohonan
Walikota Payakumbuh Riza Falepi adalah sosok yang paling getol memperjuangkan pembangunan bandara di Luak Nan Bungsu. Baginya terserah, apakah pembangunan di Kabupaten Limapuluh Kota atau Kota Payakumbuh. Namun, jika menimbang ketersediaan lahan, bandara memang cocok di Limapuluh Kota. Nan penting baginya, Sumbar memiliki bandara yang representatif. Sejak 2012, rencana ini dibawa Riza kemana-mana. Dia sudah melakukan presentasi ke banyak pihak. Namun sayangnya, harapan baik ini terganjal oleh sikap dingin dan tak respon beberapa pihak yang sangat berkepentingan dalam hal ini.
“Kota Payakumbuh sudah oke. Saya pribadi apalagi. Sekarang ini butuh surat permohonan dari pihak-pihak terkait ke Kemenhub. Kalau itu tuntas, saya siap memperjuangkannya dengan segala cara. Ini sebenarnya niat baik yang mesti didorong secara bersama. Tapi sayang, dari tahun 2012 sampai sekarang suratnya tidak pernah ada,” papar Reza.
Saat ini menurut Riza adalah momentum terbaik untuk mewujudkan pembangunan bandara. Sama dengan Marzul Veri, Riza juga berkeinginan Sumbar memiliki infrastruktur yang baik, serta maju dari daerah lain. (h/ben)