PADANG, HARIANHALUAN.COM – Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) menjadi daerah terbanyak di Indonesia yang dihuni oleh kelompok Lesbian, Gay, Biseks dan Transgender. Survei keberadaan LGBT pada akhir 2017 itu digelar oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Sumatera Barat dan lembaga konseling rekanan
“Berdasarkan survei sementara menunjukkan jika, Sumatera Barat berada di peringkat pertama secara nasional. Diperkirakan angka sementara mencapai puluhan ribu LGBT di Sumbar. Untuk memastikan angkanya berapa, mulai sekarang sampai tiga bulan kita akan survei kembali,” terang Wakil Gubernur Sumbar Nasrul Abit, Senin (8/1).
Di survei juga menunjukkan, setelah Sumatera Barat, kelompok LGBT terbanyak kedua didominasi oleh orang dari Papua dan kemudian diikuti oleh Jawa. Dengan data itu, Nasrul Abit mengaku akan tetap menolak keberadaan LGBT di Sumbar. Meski setahun lalu ia sempat dicemooh lantaran menyuarakan penolakannya terhadap LGBT. Ia memastikan jika membiarkan LGBT tetap bertahan selain menentang norma agama dan budaya di Sumatera Barat, ia juga akan memicu dampak lain yang lebih buruk.
“Andai mereka (LGBT) ini terkena penyakit, mungkin sekarang belum terasa. Bisa jadi 10 tahun kedepan. Padahal mereka calon pemimpin kita 10 tahun ke depan,” ujar Nasrul Abit dikutip dari Vivanews.
Atas itu, Nasrul Abit berencana jika nanti hasil survei LGBT itu rampung, ia akan mengusulkan pusat rehabilitasi khusus. Dia meyakini orang yang masuk dalam kelompok LGBT bisa kembali hidup normal.
“Jika dirasa perlu, kita akan bangun pusat panti rehabilitasi khusus untuk LGBT ini,” ujarnya.
Menurut Nasrul, penanganan kelompok LGBT memang mesti dilakukan pembinaan secara rutin dan mendalam. Ia pun mencontohkan seorang LGBT yang kini dalam pembinaan. Tak dirinci siapa yang dimaksud, namun Nasrul menyebut, orang yang mendapatkan pembinaan itu kini telah menikah dan bisa menjalani kehidupan normal layaknya orang yang memiliki kecenderungan heteroseksual. “Perilaku itu bisa kita ubah,” ujar Nasrul.
Butuh Aturan Hukum
Aturan hukum yang tegas dibutuhkan untuk mencegah semakin meluasnya kecenderungan sifat LGBT. Pegiat keluarga, Euis Sunarti menyampaikan, hal itu menjadi sebab dirinya yang juga tergabung dalam Aliansi Cinta Keluarga (AILA) mengajukan uji materiil guna perluasan makna pasal asusila dalam KUHP ke Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa waktu lalu.
“Kami temukan bahwa dirasakan sekali ada kekosongan hukum untuk kasus LGBT,” ujar Euis.
Euis mencontohkan, dalam sejumlah kasus penggerebekan polisi terhadap aktivitas pesta gay, baik yang dilakukan di Jakarta maupun Surabaya, para peserta pesta dengan mudah dibebaskan akibat ketiadaan pasal pidana yang bisa digunakan untuk menjerat mereka.
Sementara, makin merebaknya isu terkait LGBT juga dikhawatirkan malah menjadi media promosi untuk tindakan seks sesama jenis itu.
“Kita temukan, saat muncul keingintahuan pada anak-anak tentang seks, muncul juga pengetahuam bahwa seks dengan lawan jenis bisa menimbulkan kehamilan, akhirnya dia berhubungan dengan sesama jenis akibat masifnya isu LGBT,” tuturnya.Sementara, pakar neuropsikolog, Ikhsan Gumilar, menyampaikan bahwa kecenderungan seseorang untuk menjadi LGBT sebenarnya dipengaruhi faktor lingkungan. Kesimpulan ini didapat dari sebuah penelitian yang mencari keterkaitan antara perilaku psikologis, serta otak selaku organ biologis (neuropsikologi).
Dikatakannya, penelitian menggunakan subyek berupa laki-laki dan perempuan yang heteroseksual. Di dalam laboratorium, mereka lantas diperlihatkan gambar aktivitas-aktivitas homo, seperti pria atau wanita yang melakukan aktivitas seks sesama jenis.
Hasilnya, lanjut Ikhsan, pembacaan terhadap aktivitas otak mereka menunjukkan adanya aktivitas baru di bagian yang sebelumnya sama sekali tidak menunjukkan keberadaan aktivitas. “Otak kita itu kerap berubah, secara struktur dan fungsi (dipengaruhi impuls),” ujar Ikhsan.
Penelitian lanjutan lantas menemukan adanya kecenderungan homo secara nyata pada subyek-subyek penelitian pada saat mereka beraktivitas normal. Maka itu, Ikhsan menyarankan, adanya upaya membentengi diri dari lingkungan terkecil, yaitu keluarga, supaya kecenderungan LGBT tidak mendapat jalan untuk berkembang sejak dini.
“Kalau otak ini diberi suapan terus berupa aktivitas homoseks, maka akan berubah menjadi otak yang misalnya, saat melihat lelaki ganteng, menjadi suka,” ujar Ikhsan.
Spesialis kulit dan kelamin dokter Dewi Inong Irana mengemukakan, kelompok Lelaki Seks dengan Lelaki (LSL) atau yang dikenal sebagai gay, 60 kali lipat lebih gampang tertular HIV/AIDS dan penularan yang paling mudah melalui dubur.
“Ini data asli dari Departemen Kesehatan, satu dari empat LSL di Indonesai saat ini sudah terinfeksi HIV/AIDS,” ujarnya dalam acara Indonesian Lawyers Club (ILC) di tvOne, Selasa malam 19 Desember 2017.
Jika melihat angkanya di Indonesia dari kelompok LSL, menurut dia, 25 persen sudah terkena HIV/AIDS. Dia lantas menceritakan, seorang mahasiswanya yang baru berumur 22 tahun datang ke dia. Mahasiswa itu mengidap sipilis stadium dua. Ketika ditanya soal pacar, mahasiswa tersebut mengemukakan memiliki empat pacar yaitu satu wanita dan tiga pria.
“Kalau yang perempupan tidak saya apa-apaka karena berbahaya. Saya mencari yang aman saja,” ujar Inong mengutip perkataan mahasiswa itu.
Inong mengemukakan, “Jadi sekarang pengetahuan anam muda rata-rata bahwa yang aman itu LGBT. Padahal kenyataannya penularan termudah HIV/AIDS.”
Di Sumbar, pola penyebaran perilaku di kalangan LGBT sangat liar dan kadang menggunakan metode-metode yang tak pernah dibayangkan oleh orang normal. Data Poliklinik HIV RSUP M Djamil Padang, sebaran gay merata di semua kalangan.
Bahkan, ada lelaki gay yang berhubungan badan dengan 200 orang. Kian mencengangkan, hubungan intim sesama jenis itu melibatkan ayah dan anak, mamak dengan kemenakannya. Kedok-kedok seperti seminar keilmuan, pesta, bimbingan proposal, dan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pekerjaan kantor dan pemerintahan, menjadi peluang-peluang penyebaran tersebut. Mata rantai ini yang harus diputus.
Dokter Spesialis di Poliklinik HIV RSUP Dr M Djamil, dr Armen Ahmad, SpPD-KPTI FINASIM mengatakan, dalam tiga tahun belakangan (2014-2017), dari 10 pasien HIV/AIDS yang datang kepadanya, 7 sampai 8 adalah pelaku LSL. Secara umum, Armen menggambarkan bahwa penularan terbanyak HIV/AIDS dilakukan melalui pemakaian jarum suntik.
Namun, pasien yang ada saat ini dengan kasus demikian, adalah pasien yang terpapar HIV/AIDS pada 3 sampai 10 tahun yang lalu (2007-2014). Sedangkan untuk saat ini, tren penularan jarum suntik sudah sangat jarang, dan menyisakan pola penularan perilaku seks bebas, baik heteroseksual atau homoseksual, sebagai penyumbang pasien baru.
Selama 2017 ini, lanjutnya, pasien HIV/AIDS didominasi oleh para pelaku LGBT, terutama gay atau LSL. Sedangkan untuk Lesbian (Perempuan Seks Perempuan/PSP), cukup sulit terdeteksi karena penularannya juga cukup sulit. Imbasnya, jumlah pasien lesbian memang jauh lebih sedikit dibanding pasien gay.
Tak cukup sampai di situ, Armen yang juga merupakan Dokter Spesialis Penyakit Dalam (Internist) dan Konsultan Penyakit Tropik dan Infeksi, sekaligus pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Andalas (FK Unand) juga menegaskan fakta bahwa gay dapat ditemukan di semua kalangan di Sumbar.